Selasa, 17 September 2013

Kontroversi Mobil Murah

PROGRAM "low cost, green car" yang dicanangkan pemerintah mulai bergulir. Kendaraan yang lebih murah dan ramah lingkungan mulai dipasarkan pra produsen mobil. Namun program yang ditetapkan melalui keputusan presiden itu justru dinilai sementara pihak sebagai program penambah kemacetan belaka.

Pemerintah tampak panik menghadapi kritikan yang ditujukan kepada mereka. Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan bahwa kebijakan ini ditempuh untuk mengantisipasi datangnya era masyarakat ASEAN tahun depan.

Tanggapan yang disampaikan pemerintah menunjukkan ketidaksiapan pemerintah menghadapi kritikan masyarakat. Padahal program LCGC merupakan program jangka panjang yang dimaksudkan untuk menggeser masyarakat dari penggunaan mobil dengan kapasitas besar dan boros energi menjadi kendaraan yang lebih kecil dan hemat bahan bakar.

Jadi tujuan program LCGC bukan dimaksudkan agar para pemilik mobil menambah kendaraan yang sudah dimiliki karena harga yang lebih murah. Kebijakan ini justru dimaksudkan untuk membuat masyarakat yang mau mengganti mobil atau baru mau memiliki mobil baru untuk membeli kendaraan yang lebih hemat energi dan ramah lingkungan.

Semua negara di dunia melakukan kampanye penggunaan LCGC agar masyarakat beralih kepada kendaraan yang lebih kecil dan ramah lingkungan. Mereka sadar bahwa minyak bumi semakin mahal harganya dan penggunaan minyak yang berlebihan menyebabkan pelepasan CO2 ke udara pun semakin banyak.

Para produsen mobil pun dipacu untuk mengembangkan teknologi agar menghasilkan kendaraan yang lebih murah dan hemat energi. Berbagai jenis kendaraan mulai mobil listrik, hybrid, hidrogen, dan mobil dengan kapasitas kecil dicoba untuk dihasilkan.

Pengembangan teknologi seperti itu tidaklah murah. Untuk itulah banyak negara memberi insentif kepada produsen mobil agar mau melakukan riset dalam pengembangan mobil yang hemat energi dan ramah lingkungan. Bagi banyak negara, kalau teknologi seperti itu bisa ditemukan, maka dua hal bisa didapatkan sekaligus yakni penggunaan minyak yang lebih sedikit dan lingkungan yang lebih terjaga.

Bahkan banyak negara melihat bahwa masyarakat pun harus didorong untuk menggunakan LCGC. Salah satunya adalah dengan memberikan insentif pajak agar mereka mau menggunakan kendaraan yang hemat energi dan ramah lingkungan tersebut.

Tidak mudah untuk mengajak masyarakat menggunakan LCGC, karena banyak orang yang ingin menikmati kecepatan ketika mengendarai mobil. Orang-orang Amerika misalnya, terbiasa untuk menggunakan mobil dengan kapasitas besar, sehingga menggunakan mobil jenis LCGC dianggap seperti mainan.

Pemahaman seperti ini tidak sampai pada kita. Tidak usah heran apabila kebijakan pemerintah untuk menawarkan LCGC justru dilihat sebagai penambah kemacetan. Bukan dilihat dari kepentingan yang lebih besar yakni mengurangi penggunaan minyak bumi dan pelepasan CO2 ke udara.

Memang tidak bisa disalahkan bahwa harga mobil yang lebih murah menyebabkan orang lebih berpeluang untuk bisa membeli mobil. Kalau lebih banyak mobil yang dibeli masyarakat, maka kemacetan yang terjadi semakin menjadi-jadi.

Hanya saja program LCGC memang bukan dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan. Langkah pengurangan kemacetan bukan dijawab dengan program mobil seperti ini, tetapi dengan pembangunan transportasi massal.

Kita sependapat bahwa program LCGC harus diikuti dengan program pembangunan transportasi massal. Pemerintah harus mempercepat pembangunan kereta api di bawah tanah, monorel, dan penambahan armada-armada bus.

Untuk kota seperti Jakarta yang menampung aktivitas penduduk di atas 10 juta, tidaklah mungkin tranportasinya mengandalkan kendaraan pribadi. Tidak ada program LCGC pun, jumlah kendaraan pasti akan bertambah karena masyarakat tidak punya banyak pilihan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Tahun lalu jumlah mobil yang berhasil dijual oleh para produsen mobil mencapai 1,2 juta unit. Sementara jumlah motor yang dibeli oleh masyarakat mencapai delapan juta unit. Jika tidak diikuti dengan program mobil yang hemat energi dan ramah lingkungan, maka konsumsi bahan bakar minyak akan menjerat keuangan negara.

Namun sekali lagi persoalan kemacetan yang dihadapi kota-kota besar tidak akan bisa diselesaikan tanpa ada pembangunan transportasi massal. Jakarta harus mengikuti kota-kota besar dunia lain seperti Tokyo, London, New York untuk membangun transportasi massal yang lebih terpadu. Kalau Kuala Lumpur sanggup, Bangkok sanggup, bahkan Singapura pun sanggup, masak Jakarta tidak sanggup.

Jadi program LCGC bukan alternatif dari masalah kemacetan. Program LCGC harus diikuti dengan pembangunan transportasi massal kalau memang ingin memecahkan persoalan kemacetan. Kita membutuhkan LCGC agar keuangan negara tidak semakin jebol oleh besarnya konsumsi bahan bakar kendaraan bermotor.

Sumber : http://www.metrotvnews.com/front/view/2013/09/16/1641/Kontroversi-Mobil-Murah/tajuk
Related Posts : bahan bakar , besar , energi , hemat , kemacetan , kendaraan , lcgc , lingkungan , massal , masyarakat , mobil , murah , pembangunan , penggunaan , produsen , program , ramah , sanggup , transportasi

Tidak ada komentar :

Posting Komentar