Rabu, 18 Maret 2015

Warga DKI Diminta Jeli dalam Tiap Tahapan Penyusunan APBD

Kisruh Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta antara DPRD dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), setidaknya membuka mata warga DKI Jakarta akan pentingnya partisipasi dan pengawasan dalam tiap penyusunan APBD. Pasalnya, di tiap tahapan penyusunan APBD mulai dari pembahasan hingga pengesahan ada potensi penyelewengan.

Setelah dikejutkan dugaan dana siluman Rp12 triliun, penganggaran pembelian UPS yang tidak masuk akal, besarnya anggaran belanja pegawai, kini warga Jakarta harus mengernyitkan dahi setelah Kemendagri menemukan anggaran pembelian alat tulis kantor (ATK) dengan nilai fantastis dalam APBD 2015.

Anggota DPD asal Jakarta Fahira Idris mengatakan, kisruh APBD merupakan kesempatan warga Jakarta untuk lebih jeli me-review kembali sejauh mana warga dilibatkan dalam tahap perencanaan program dan anggaran APBD DKI Jakarta 2015.

“Coba kita review bersama, sejauh mana APBD yang sekarang mengakomodasi usulan warga. Kalaupun diakomodasi bentuknya seperti? Apakah usulan yang diterima APBD benar-benar menggambarkan kebutuhan riil warga atau malah program yang ada di APBD sama sekali bukan usulan warga? Jangan-jangan program yang sebenarnya dibutuhkan warga malah dialihkan untuk pos-pos anggaran yang tidak penting,” ujar Fahira, di Jakarta (17/3).

Fahira memandang, selama ini wacana atau diskursus mengenai ABPD Jakarta terasa sangat elitis, yaitu hanya antara legislatif dan eksekutif dan para pengamat anggaran terutama para ekonom. Padahal yang paling merasakan dampak dari alokasi APBD yang tidak proporsional adalah warga Jakarta sendiri. Besaran APBD Jakarta yang terus meningkat dari tahun ke tahun idealnya bisa membantu warga Jakarta menghadapi persoalan hidup sehari-hari.

“Pelayanan kesehatan dan pendidikan yang masih banyak ketimpangan, banjir dan macet masih manghadang, dan jalanan yang masih rusak itu sangat berkaitan dengan anggaran dan yang merasakan langsung itu warga. APBD itu prioritasnya untuk itu, bukan belanja pegawai apalagi beli ATK yang gila-gilaan,” ujar Wakil Ketua Komite III DPD ini.

Menurutnya, persoalan yang banyak terjadi dalam tiap penyusunan APBD, tidak hanya di Jakarta tetapi hampir diseluruh Indonesia. Hal ini disebabkan terbatasnya akses dan pengetahuan warga dalam tiap tahap penyusunan APBD. Makanya, sering dijumpai (dalam APBD) anggaran untuk birokrasi jauh lebih mendominasi dari pada pembiayaan pembangunan atau banyak program yang di desain berbasis proyek untuk kepentingan kelompok tertentu saja.

“Ini bisa terjadi karena pada saat penyusunan APBD ada persekongkolan antara oknum yang ada di Pemerintah Daerah dengan DPRD dan lemahnya pengawasan publik,” tuturnya.

Fahira mengatakan, untuk APBD DKI Jakarta yang saat ini sudah akan masuk dalam proses tahap pengesahan, hal mendesak yang bisa dilakukan warga Jakarta adalah mengawasi proses pengadaan barang dan jasa yang potensi penyelewengannya sudah bisa dicermati mulai dari perencanaan pengadaan, pengumuman lelang, penyusunan harga perkiraan sendiri sampai penyerahan barang.

Menurutnya, penyelewengan di tahap perencanaan pengadaan bisa cermati apakah ada gelagat mencurigakan seperti penggelembungan anggaran, rencana pengadaan yang diarahkan ke perusahaan tertentu, atau penentuan jadwal waktu yang tidak realistis.

“Peserta lelang itu sebenarnya satu perusahaan, perusahaan yang lain yang ikut hanya sebagai pembanding agar lelang bisa berjalan. Ini masih terjadi walau lelang sudah secara elektronik. Kalau sudah begini, pola korupsinya adalah pemberian suap, penggelapan, menerima komisi, nepotisme, konstribusi atau sumbangan ilegal, pemerasan, penyalahgunaan wewenang, dan pemalsuan,” katanya.

Sebelumnya, Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menduga DPRD DKI Jakarta telah melanggar sejumlah peraturan perundang-undangan. Di antaranya adalah mengabaikan amanat konstitusi dalam hal pembahasan APBD yang tertuang dalam Pasal 23 Ayat (1) UUD 1945.

"APBD DKI Jakarta, dibahas oleh DPRD dan Pemprov tidak secara terbuka dan bukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, tapi kepentingan elit," kata Sekjen Fitra Yenny Sucipto.

Aturan lainnya, terdapat pada Pasal 317 UU No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Dalam UU tersebut, DPRD hanya berwenang membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah provinsi yang diajukan oleh gubernur.

Berikutnya, pelanggaran terhadap Pasal 99 UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda). Sama halnya dengan UU MD3, UU Pemda juga menyatakan bahwa kewenangan DPRD hanya melakukan pembahasan untuk persetujuan bersama terhadap rancangan peraturan daerah provinsi tentang APBD provinsi yang diajukan oleh gubernur.

Hal sama diatur dalam Tata Tertib (Tatib) DPRD DKI Jakarta Tahun 2014. Dalam Tatib menyatakan bahwa kewenangan anggaran DPRD hanya sebatas membahas dan menyetujui usulan APBD dari gubernur.

Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt55081c312f5a8/warga-dki-diminta-jeli-dalam-tiap-tahapan-penyusunan-apbd
Related Posts : anggaran , apbd , belanja , dki , dprd , fahira , jakarta , lelang , pasal , pembahasan , pengadaan , penyelewengan , penyusunan , perencanaan , provinsi , tahap , usulan , uu , warga

Tidak ada komentar :

Posting Komentar