Selasa, 26 Agustus 2014

Kekacauan di Kolong Tol Lingkar Luar Jakarta West 2

JAKARTA, KOMPAS.com - Kepulan asap kendaraan bermotor pada Selasa (19/8) malam itu membuat mata perih dan napas sesak. Seorang pengendara sepeda motor membuka kain penutup hidung dan terbatuk-batuk. Ia berusaha menepi, tetapi tak bisa. Ia terjebak di antara jeritan klakson kendaraan bermesin yang berjejalan di kolong Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (Jakarta Outer Ring Road/ JORR) West 2 di Jalan Ciledug Raya.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 21.00 lewat, tetapi lalu lintas di kolong tol baru itu masih tersumbat. Usut punya usut ternyata ada dua metromini terlibat kecelakaan sekitar 200 meter dari mulut tol. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut, tetapi badan bus menghalangi arus kendaraan di jalan yang terdiri dari dua lajur saja.

”Tidak ada kecelakaan saja di sini sekarang macet parah sejak ada tol,” kata Sulaiman, penjaga toko bahan bangunan tak jauh dari lokasi kecelakaan.

Kolong JORR W2 di Ciledug Raya disadari atau tidak kini menambah panjang deretan simpul kemacetan di Jakarta.

Letak mulut tol tepat menumpang di Jalan Ciledug Raya, jalan yang sejak berpuluh tahun silam kondisinya begitu-begitu saja. Jalan utama penghubung Kota Tangerang dan Jakarta Selatan itu tidak dilengkapi trotoar yang memadai. Aspal jalan masih banyak yang berbatasan dengan tanah berbatu atau pinggir selokan. Parkir liar marak, toko dan tempat usaha seenaknya menggelar dagangan hingga ke tepi jalan. Kesemrawutan makin sempurna dengan perilaku angkutan umum yang ngetem sembarangan.

Sejak JORR W2 beroperasi, kendaraan yang keluar tol dari arah Meruya, Jakarta Barat, atau dari Jalan Kostrad tidak lagi bisa langsung belok kanan menuju arah Ciledug. Kendaraan harus belok kiri dan melaju terus sekitar 500 meter baru menemukan U-turn (putaran).

Di sini muncul masalah baru. Sekelompok orang yang terdiri atas 4-6 laki-laki, kadang ikut beraksi juga satu-dua perempuan, menjadi penguasa U-turn. Dengan membayar Rp 500, Rp 1.000, atau Rp 2.000, kendaraan roda empat atau lebih bisa mulus berputar di sini. Para preman itu akan menghentikan semua kendaraan dari arah Cipulir, Kebayoran Lama. Mereka adalah ”lampu merah” hidup di titik itu. Akibatnya, antrean kendaraan mengular nyaris setiap hari di kedua sisi jalan di sekitar putaran balik.

”Kalau enggak pakai jasa mereka, bisa setengah mati berputar di situ. Apalagi kalau lalu lintas lagi padat. Mungkin baiknya ada lampu lalu lintas dan polisi jaga di situ biar orang terbiasa ikuti aturan,” kata Rahardian, warga di Jalan M Saidi Raya.

Siksaan bagi pengguna jalan reguler setelah JORR W2 beroperasi tak sebatas itu. Bagi yang akan menuju M Saidi Raya atau Bintaro, mereka tak bisa lagi langsung belok kiri pas di perempatan di bawah tol. Semua pengguna jalan harus masuk ke kiri sebelum kolong tol dan menyusuri jalan pinggir tol sepanjang lebih kurang 1 km sebelum menemukan terowongan pendek di bawah tol. Seusai menyeberangi terowongan, pengendara menyusuri pinggir tol lebih kurang 900 meter dan akhirnya menyatu dengan jalur keluar tol yang menuju Bintaro.

Penataan sekitar tol

Ahli transportasi dari Universitas Indonesia, Ellen SW Tangkudung, mengatakan, kekacauan di kolong JORR W2 di Ciledug Raya disebabkan pembangunan tol tidak diikuti penataan kawasan di sekitarnya.

Menurut dia, tol itu seharusnya tersambung dengan jalan yang kelasnya sama dengan jalan tol itu sendiri, yaitu arteri utama.

”Jalan arteri utama ditandai dengan lebar jalan tertentu, tidak langsung berada di tengah permukiman, dan didukung rambu serta rekayasa lalu lintas memadai sehingga tidak memicu kemacetan baru,” katanya.

Ellen juga mengkritik jarak pintu keluar-masuk tol (ramp) JORR W2 yang tergolong rapat. Saat mencoba berkendara di jalan bebas hambatan itu, waktu tempuh dari Pintu Tol Meruya ke Pintu Tol Ciledug dengan kecepatan sekitar 50 km per jam hanya butuh lima menit.

Bagi kalangan ahli transportasi, tol adalah jalur alternatif yang tidak melayani rute mobilitas jarak dekat sehingga seharusnya jarak antarpintu tol berjauhan. Kebijakan ini untuk mencegah terlalu banyak sentuhan antara arus kendaraan pengguna tol dan pengguna kendaraan di jalan reguler.

Sebagai contoh, Tol Dalam Kota (Tol Sedyatmo) pernah memicu kemacetan panjang di sekitar kawasan Senayan karena pintu keluar dan masuk kendaraan terlalu rapat. Polisi dan Pemprov DKI Jakarta sejak sekitar satu tahun terakhir berinisiatif menutup pintu di Senayan. Hal ini karena arus keluar masuk tol itu tidak hanya mengacaukan arus di jalan reguler, tetapi juga memicu antrean panjang di dalam ruas tol sendiri. Gara-gara ini, fungsi tol sebagai jalan bebas hambatan pun gugur.

Ellen menyatakan belum terlambat untuk mulai menata kembali operasional tol dan jaringan jalan di sekitar tol. Justru, penataan dan pengendalian tersebut wajib dilakukan otoritas yang berwenang, baik pengelola tol maupun pemerintah daerah sekitar.

Kementerian Pekerjaan Umum selaku pihak yang membangun JORR W2 mungkin sudah melaksanakan tugasnya dengan membangun jalan pinggir tol dan melengkapi akses baru ke kawasan sekitar.

Namun, sampai saat ini, dampak luas keberadaan tol terhadap masyarakat sekitar belum tertangani. Pemerintah daerah, baik DKI maupun Tangerang Selatan dan Kota Tangerang, pun belum bergerak memperbaiki kualitas jalan reguler dan trotoar sekitar tol serta menata kawasannya, termasuk mengatur perkembangan permukiman.

Selama ini, kata Ellen, pembangunan jalan tol memang selalu tidak selaras dengan arah pengembangan kota yang tertuang dalam rencana tata ruang wilayah.

”Tengok saja di sekitar Tol TB Simatupang. Di kanan-kirinya sekarang terus tumbuh gedung tinggi yang mengandalkan akses tol. Padahal, jalan regulernya sempit begitu, cuma dua lajur. Jadinya kemacetan parah rutin setiap hari,” kata Ellen. Antisipasi enam tol

Kini, Jakarta tengah bersiap membangun lagi enam ruas Tol Dalam Kota. Dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Maret 2013, sebanyak 45 persen responden berpendapat, pembangunan enam ruas tol baru yang akan melewati lokasi strategis bisnis akan menambah kemacetan. Sementara 42 persen responden berpendapat rencana pembangunan tol akan merusak keindahan kota karena akan menambah banyak jalan saling silang yang melayang di atas.

Bagian terbesar responden (67 persen) berpendapat, pembangunan transportasi publik harus lebih dalu dilaksanakan ketimbang pembangunan jalan tol baru untuk mengurangi kemacetan lalu lintas. Warga menilai, pembangunan jalan, baik jalan tol, jalan layang/terowongan, maupun pelebaran jalan, belum bisa efektif mengatasi kemacetan.

Ellen dan juga Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia Danang Parikesit pun mengingatkan, berkaca pada kasus-kasus serupa di JORR W2, TB Simatupang, dan Tol Sedyatmo, keruwetan serupa berpotensi terulang di banyak lokasi lain saat enam tol dalam kota baru dibangun dan beroperasi pada 2018. Apakah Pemprov DKI Jakarta dan pihak-pihak yang berwenang mengelola tol menyadari dan sudah mengantisipasi sejak awal? Mungkin perlu desakan publik untuk menggugah kesadaran untuk itu.

Sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/2014/08/23/14300951/Kekacauan.di.Kolong.Tol.Lingkar.Luar.Jakarta.West.2
Related Posts : arus , ciledug , ellen , jakarta , jalan , jalan tol , jorr , kemacetan , kendaraan , kolong , kota , lalu lintas , pengguna , pinggir , raya , reguler , terowongan , tol , transportasi

Tidak ada komentar :

Posting Komentar