Jumat, 10 Agustus 2012

Rumah "Manusia Gerobak", dari Kumpulan yang Terbuang

JAKARTA, KOMPAS.com - Tidak banyak warga yang melintasi Jalan Tebet Barat Raya sadar jika di balik jejeran gerobak sampah dan barang rongsokan di salah satu sisi jalan tersebut terdapat 30 rumah petak tak layak huni. Jejeran pondokan yang berdiri di atas areal sempit yang tak sedap dipandang mata itu disebut Depo II PHL (pekerja harian lepas) kebersihan. Mereka yang tinggal di tempat tersebut adalah orang-orang yang sehari-hari mengumpulkan sampah dari rumah warga dan membersihkan jalan-jalan kota di wilayah Tebet Barat.

Rumah gubuk yang ditempati keluarga para PHL itu pun rasanya kurang pantas jika disebut tak jauh dari profesi mereka. Rumah pasangan suami-istri Hasan dan Wulan bisa menjadi contoh. Rumah yang berukuran sekitar 4x3 meter itu dibagun laksana kumpulan barang-barang buangan. Beragam jenis barang yang biasa difungsikan sebagai atap bercampur baur menjadi satu rangkaian penutup rumah. Potongan seng, genteng, asbes hingga terpal dialasi potongan bambu menjadi kombinasi tak beraturan dari atap sederhana.

Dinding rumah itu tak jauh berbeda. Potongan lembaran tripleks, potongan terpal, sisa-sisa spanduk, dan lembaran seng yang tak utuh menjadi kombinasi tak kompak dinding rumah yang ditempeli kertas koran ala kadarnya. Hanya bagian belakang rumah yang berlapiskan tembok. Itupun karena gubuk tersebut langsung menempel pada dinding tembok pembatas area depo.

Alas rumah pun tak kalah "hebohnya". Rangkaian pecahan keramik dengan jenis dan warna yang tak lagi jelas belum sepenuhnya menutup tanah. Alhasil, tanah cokelat masih mendominasi seperempat bagian lantai. Perlengkapan dan perabot rumah jauh dari kesan indah. Sebuah springbed bekas menjadi tempat tidur keluarga sekaligus tempat bermain yang nyaman bagi dua anak mereka.

Dinding di samping tempat tidur dilapisi cermin berukuran lumayan besar menjadi bagian termewah di gubuk itu. Selebihnya terdapat dua lemari tua untuk menyimpan pakaian, satu lemari kecil yang kedua pintunya telah lepas, sebuah kasur yang digeletakkan di lantai beralaskan terpal dan sebuah kipas angin.

Ada juga sebuah kulkas bekas yang tidak benar-benar berfungsi sebagai pendingin makanan. "Saya bangun sendiri rumah ini. Semuanya dari barang-barang yang sudah dibuang orang atau nemu di jalan," kata Hasan kepada Kompas.com yang menjadi tamunya, Rabu (8/8/2012).

Perabot rumah tangga yang dimiliki Hasan juga punya sejarah yang tak jauh berbeda. Selain kipas angin, semua barang lainnya adalah barang-barang bekas pakai. Tempat tidur, lemari, dan cermin adalah barang bekas yang diberikan warga Tebet yang lebih mampu. Sedangkan kulkas dibeli Hasan dari seorang pelego barang bekas.

Maka, benar kata Hasan, rumahnya bisa disebut sebagai mozaik dari barang-barang yang terbuang. Pernak-pernik rongsokan yang menyatu menjadi bangunan rumah dan isinya belum terajut rapi dan terkesan darurat. Tapi, itulah simbol kehidupan ke-30 PHL itu. Dengan gaji harian yang kecil, yang jomplang dengan tuntutan kebutuhan ekonomi kehidupan di Ibu Kota setiap hari adalah situasi darurat bagi mereka.

"Yah, beginilah kami. Biar gaji sudah naik (dari Rp 27.000 ke Rp 35.000/hari), kami masih harus tutup sana tutup sini. Habis terima langsung habis lagi buat nutupin utang," kata Sanin, PHL yang tinggal di sebelah rumah Hasan.

Untuk memenuhi kebutuhan keluarga, mereka terpaksa mencari pekerjaan tambahan. Hasan mengumpulkan barang bekas. Istrinya Wulan menjadi pemulung. Sabana, rekan Hasan, menjadi tukang odong-odong. Sedangkan Sanin, Aji, dan Rosidi selalu siap mengerjakan kerja-kerja pesanan yang diminta warga.

"Lumayan, buat tambahan makan minum," ujar Sanin.

Itu benar, untuk sekadar tambahan memenuhi kebutuhan perut, tapi bukan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak. Putra sulung Sanin beruntung bisa diangkat anak oleh seorang pemilik pondok pesantren. Ia saat ini tinggal di ponpes ayah angkatnya serta mengikuti pendidikan hingga tingkat SMA. Sementara putra kedua Sanin yang tinggal bersamanya hanya berijazah SD. Remaja berusia 14 tahun itu terpaksa harus ikut mencari makan dengan bekerja serabutan.

"Pasti tidak cukup. Tapi ya alhamdullilah, hampir setiap hari ada saja orang lewat yang ngasih lima ribu rupiah atau sepuluh ribu rupiah. Bisa untuk tambahan buat beli makan dan jajanan anak. Kalau ngandalin gaji PHL sama mulung, mana mungkin kami kuat," kata Hasan.

Dengan status darurat dari hari ke hari, nasib pria berusia 79 tahun itu dan rekan-rekannya sesama PHL, menjadi serba tak pasti. Hidup Hasan dkk di Depo II Tebet Barat tak jauh berbeda dari kondisi rumah mereka, kumpulan yang terbuang, yang tersisihkan.

Sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/2012/08/09/10160273/Rumah.Manusia.Gerobak.dari.Kumpulan.yang.Terbuang
Related Posts : barat , berukuran , hasan , jalan , jenis , kebutuhan , kehidupan , kombinasi , mengumpulkan , orang , pendidikan , rongsokan

Tidak ada komentar :

Posting Komentar