Senin, 11 Mei 2015

APTB Dilarang Masuk Jakarta, Jumlah Penumpang dan Pendapatan Bakal Merosot

JAKARTA, KOMPAS — KEBIJAKAN GUBERNUR DKI JAKARTA BASUKI TJAHAJA PURNAMA YANG MELARANG BUS ANGKUTAN PERBATASAN TERINTEGRASI BUS TRANSJAKARTA BEROPERASI DI IBU KOTA DIKHAWATIRKAN MENURUNKAN PENDAPATAN PARA PETUGAS APTB KARENA JUMLAH PENUMPANG MEROSOT. GUBERNUR PUN DIMINTA MEMPERTIMBANGKAN KEMBALI KEPUTUSANNYA.

Madli (56), asisten pengemudi APTB jurusan Cibinong-Grogol, Sabtu (9/5), mengatakan, apabila kebijakan penghapusan APTB diterapkan, jumlah penumpang diprediksi turun. Penurunan itu disebabkan ketaknyamanan mereka karena harus berpindah-pindah bus. "Penumpang pasti mengeluh karena tidak diturunkan di tempat tujuan," ujarnya.

Selama ini, APTB menjadi salah satu pilihan penumpang untuk menembus kemacetan Jakarta. Pasalnya, bus APTB dapat melewati jalur bus transjakarta. Namun, jika APTB dilarang menggunakan jalur bus transjakarta, hal itu tentu akan berdampak pada menurunnya minat masyarakat.

Penumpang pun akan beralih ke moda transportasi lain, seperti bus umum antarkota ataupun kendaraan pribadi. Kemungkinan itu bisa terjadi karena kebanyakan penumpang APTB berasal dari luar kota Jakarta yang bekerja di Ibu Kota. "Kebanyakan penumpang naik dari Cibinong. Penumpang yang naik dari halte dalam kota Jakarta hanya beberapa orang," kata Madli.

Kebijakan tersebut akan mempengaruhi pendapatan pegawai APTB. "Jumlah pendapatan bakal tidak menentu dan bergantung pada jumlah penumpang yang ada. Semakin banyak karcis yang didapat, pendapatan semakin tinggi," ungkapnya.

Di perusahaannya, petugas bus dibayar dengan menggunakan sistem komisi. Sistem ini berbeda dengan bus umum yang menggunakan sistem setoran. Untuk sistem komisi, satu bus yang terdiri dari pengemudi dan asistennya mendapat komisi sebesar 5 persen dari pendapatan yang diterima. "Misalnya satu hari kami mendapatkan Rp 2 juta, berarti komisi yang didapat, Rp 100.000 itu, dibagi dua dengan pengemudi. Itu belum termasuk uang makan. Lumayanlah untuk makan sehari-hari," tutur pria yang sudah bekerja di bidang ini selama 20 tahun.

Berharap solusi yang tepat

Madli pun berharap pembatasan APTB tidak diterapkan. "Mudah-mudahan para atasan bisa berdiskusi dengan pemerintah untuk mencari solusi yang tepat," ucapnya.

Namun, jika solusi itu tidak ditemukan, Madli memilih kembali ke profesi lamanya sebagai asisten pengemudi di bus antarkota kovensional. "Ya, terpaksa saya kembali lagi ke bus lama yang pembayarannya pakai sistem setoran," ucapnya.

Pendapat serupa juga diutarakan Andri (27), asisten pengemudi APTB jurusan Bogor-Grogol. Menurutnya, apabila rute APTB dibatasi, hal itu akan berdampak pada berkurangnya penumpang dan jumlah pendapatan.

Selama ini, pendapatannya sebagai asisten pengemudi hanya sekitar Rp 70.000 per hari. Jumlah itu diambil dari setiap penumpang yang naik ke busnya. Dari penumpang yang naik dari terminal luar kota, dia mendapat jatah Rp 400 per penumpang, sedangkan untuk penumpang dalam kota dia mendapat jatah Rp 100 per penumpang.

Pendapatan berbeda diperoleh pengemudi. Perusahaan mematok komisi Rp 750 per penumpang, sedangkan untuk dalam kota Jakarta pengemudi mendapat jatah Rp 200 per orang.

Dari penumpang yang naik dari halte dalam kota Jakarta, petugas APTB mematok harga Rp 5.000 per orang. "Jadi, kalau bus APTB tidak bisa masuk ke Jakarta, otomatis pendapatan kami jauh berkurang," kata Andri.

Sumber : http://print.kompas.com/baca/2015/05/09/APTB-Dilarang-Masuk-Jakarta%2c-Jumlah-Penumpang-dan
Related Posts : andri , aptb , asisten , bus , halte , ibu kota , jakarta , jatah , komisi , kota , madli , naik , pendapatan , pengemudi , penumpang , rp , sistem , solusi , transjakarta

Tidak ada komentar :

Posting Komentar