Senin, 25 Agustus 2014

Bangun 6 Ruas Tol Baru, Jakarta Harus Belajar dari Kegagalan Los Angeles

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan untuk mempercepat pembangunan enam ruas tol dalam kota. Dengan demikian, diharapkan keberadaannya sudah dapat terealisasi pada 2018.

Sebelumnya, enam ruas tol ditargetkan selesai dan mulai beroperasi pada 2022. Meski berdalih percepatan untuk menyukseskan Jakarta sebagai tuan rumah Asian Games 2018, keputusan tersebut menggulirkan kembali polemik lama yang muncul pada tahun lalu, tepatnya saat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menyetujui pembangunan enam ruas jalan tol hanya beberapa bulan setelah ia dilantik sebagai orang nomor satu di Jakarta.

Padahal saat masa kampanye, mantan Wali Kota Solo itu dengan tegas menyatakan penambahan jumlah jalan tol tidak akan mengatasi kemacetan di Jakarta, karena hanya akan memicu penambahan jumlah mobil pribadi.

Saat itu, Jokowi berdalih pembangunan enam ruas tol harus dilakukan karena rasio jalan yang ada di Jakarta belum mencapai jumlah ideal. Menurut dia, saat ini rasio jalan di Jakarta hanya 6 persen dari jumlah ideal 12 persen.

Jokowi sendiri memberikan persetujuan tersebut dengan catatan, keenam ruas tol harus memiliki busway yang dikhususkan untuk Transjakarta.

"Setelah tadi dijelaskan oleh Pak Menteri, memang kita ini ada dua kekurangan, yaitu kurang jalan dan transportasi umum. Dan memang benar kurang banyak," kata Jokowi usai mengadakan pertemuan dengan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto, Rabu (9/1/2013) lalu.

Belajar dari kegagalan Los Angeles

Dalam tulisan yang pernah dimuat di Harian Kompas pada 12 Februari 2013 dengan judul "Saat Kepala Patung Pancoran di Samping Mobil Anda", alumnus departemen arsitektur UI, Prabham Wulung sempat menyampaikan sejarah Los Angeles yang pernah giat membangun tol di seluruh penjuru kota pada periode 1930- 1970.

Hasilnya, Los Angeles menjadi kota yang penuh jalan tol. Mengutip dari buku 'Cities in Civilization' karya Peter Hall (Phoenix Giant, 1999), Prabham mengatakan bahwa pada saat itu Los Angeles kota modern yang menyandarkan transportasinya pada kendaraan bermotor.

Dengan alasan ekonomi dan rekayasa teknik, kendaraan bermotor diyakini akan mampu membuat kota menjadi tumbuh efisien. Karena itulah dibutuhkan banyak jalan tol.

Dalam perkembangannya, semakin jalan tol dibangun semakin warga kota Los Angeles terpacu menggunakan mobil pribadi sebagai sarana berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Kemacetan yang kemudian terjadi, karena jalan tol tersebut penuh dengan kendaraan, dicarikan penyelesaiannya dengan membangun jalan tol baru.

Semua area kosong, jalur kereta listrik dan trem, taman, dan pemakaman umum digusur dan dijadikan jalan tol. Ketika tak ada lagi tanah tersisa, mereka membangun jalan tol layang. Periode 1950-1960, kata Prabham, adalah masa puncak pembangunan tol di Los Angeles.

Biaya tol semakin mahal karena harga konstruksi kian meningkat. Pada 1980, Los Angeles sudah punya jaringan jalan bebas hambatan dalam kota sepanjang 2.505 kilometer. Praktis, Los Angeles sudah tidak lagi berwujud sebuah kota, tetapi kumpulan jalan bebas hambatan.

Kemudian Los Angeles tiba pada suatu titik di mana sudah tidak mungkin membangun jalan tol lagi dan seluruh warga kota terjebak dalam kendaraan pribadinya karena kemacetan yang mengular.

Pada 1990, baru muncul kesadaran perlunya jaringan kereta. Kemudian dimulailah pembangunan sebuah jaringan kereta sepanjang 35 km, yang menghubungkan Los Angeles dan Long Beach. Ironisnya, jalur itu adalah jalan kereta listrik yang dulu pernah dihancurkan pada 1961.

Kritik Terhadap Pemprov DKI dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada Maret 2013, sebanyak 45 persen responden berpendapat, pembangunan enam ruas tol yang akan melewati lokasi strategis bisnis akan menambah kemacetan.

Sementara 42 persen responden berpendapat rencana pembangunan tol akan merusak keindahan kota karena akan menambah banyak jalan saling silang yang melayang di atas. Bagian terbesar responden (67 persen) berpendapat, pembangunan transportasi publik harus lebih dahulu dilaksanakan.

Warga menilai, pembangunan jalan, baik jalan tol, jalan layang/terowongan, maupun pelebaran jalan, belum bisa efektif mengatasi kemacetan.

Sementara itu, pakar transportasi Danang Parikesit mengatakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disahkan oleh Badan Legislasi DPRD DKI, pembangunan enam ruas tol dalam kota harus dilakukan, dan tidak dapat dibatalkan.

"Secara hukum harus dilakukan dan publik tidak bisa lagi melakukan perubahan. Apalagi, tendernya sudah dimenangkan. Kecuali ada perubahan tata ruang," kata Danang kepada Kompas.com, Minggu (24/8/2014).

Namun, kata Danang, pembangunannnya tidak harus dilakukan pada saat ini. Namun harus dilakukan saat sistem transportasi publik yang laik di Jakarta, seperti penyelesaian proyek MRT dan pembangunan Transjakarta koridor 13,14, dan I5 rampung.

"Dan berdasarkan kompromi Pak Jokowi dengan Kementerian PU tahun 2012, keenamnya tidak dibangun bersama-sama. Tapi hanya dua dulu karena itu mengakomodasi distribusi barang, dan Kemen PU juga tidak mengharuskan dibangun bersama-sama," ujarnya.

Ahok mengecam

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pun menyadari hal itu. Tetapi, seperti halnya Jokowi, Basuki bersikukuh pembangunan enam ruas tol dalam kota harus tetap dilakukan. Bahkan, ia mengecam pendapat-pendapat pakar yang menentang proyek tersebut.

"Sudahlah, ngomong jujur saja ya kalau tukang pengamat. Kalau gue batalin tol (dan jadi) macet, kalian kritik enggak? Kritik juga," kata Basuki, di Balaikota Jakarta, Selasa (19/8/2014).

Mantan Bupati Belitung Timur itu lalu menganalogikan pembangunan enam ruas tol dalam kota dengan sebuah rumah. Dia mengibaratkan sebuah tanah seluas 100 meter persegi dengan hanya satu lantai dan penuh sesak oleh anggota keluarga.

Sementara sang kepala keluarga itu memiliki uang cukup untuk membangun hingga tiga lantai. "Kalau jadi orang itu, kamu membangun rumah kamu jadi tiga lantai enggak? Tujuannya apa? Ya supaya kurang sesak kan. Sekarang mobil sudah begitu banyak, Anda mau bangun jalan enggak dua tingkat di atasnya? Ya supaya mobil-mobil itu bisa dibagi ke (jalan) atas," ujarnya.

Karena itu, Basuki menegaskan Pemprov DKI tetap tidak akan mengubah keputusan, meskipun banyak petisi yang muncul. Ia pun menganggap pendapat-pendapat para akademisi sebagai hal yang konyol.

"Alasan mereka menolak bangun jalan tol cuma karena tambah mobil. Aduh, saya urut dada dengar alasan seperti itu. Pertanyaan saya, jalan tidak ditambah, mobil tambah juga enggak? Tambah. Terserah mereka mau bikin petisi apa pun, Anda tidak punya hak (stop kebijakan enam ruas tol)," kata dia.

Sumber : http://megapolitan.kompas.com/read/2014/08/24/15235871/Bangun.6.Ruas.Tol.Baru.Jakarta.Harus.Belajar.dari.Kegagalan.Los.Angeles
Related Posts : angeles , basuki , danang , dki , jakarta , jalan , jalan tol , jokowi , kemacetan , kereta , kota , kritik , los , pendapat , prabham , responden , ruas , tol , transportasi

Tidak ada komentar :

Posting Komentar